Dengan adanya pasal-pasal ini,
UUD 1945 memberikan landasan hukum yang kuat untuk keberadaan dan pelestarian
hukum adat di Indonesia.
HUKUM NASIONAL Berbasis KEARIFAN LOKAL
Krisis Identitas Hukum Nasional
Pasca proklamasi kemerdekaan,
bangsa Indonesia mewarisi sebuah sistem hukum yang pluralistik, namun
didominasi oleh kerangka hukum peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sejak saat itu, diskursus mengenai identitas sejati sistem hukum nasional
Indonesia terus bergulir tanpa henti. Ketidakpuasan terhadap keberlanjutan
penerapan hukum warisan kolonial menjadi tema sentral dalam perdebatan ini.
Banyak kalangan menilai bahwa sistem hukum peninggalan penjajah, yang notabene
dibentuk untuk melayani kepentingan kolonialisme, tidak sepenuhnya mencerminkan
nilai-nilai fundamental, aspirasi, dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang
merdeka dan berdaulat.
Kritik utama yang sering
mengemuka adalah karakter hukum warisan Belanda yang cenderung sekuler dan
individualistik. Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek – BW) dan Hukum Pidana
(Wetboek van Strafrecht – WvS) yang menjadi pilar utama sistem hukum warisan
tersebut, dibangun di atas fondasi filsafat hukum Eropa Kontinental yang
menekankan pada kepastian hukum tertulis, hak-hak individu, dan pemisahan tegas
antara hukum dan moralitas atau agama. Karakteristik ini dianggap bertentangan
secara diametral dengan jiwa Pancasila, khususnya Sila Pertama, Ketuhanan Yang
Maha Esa, yang menempatkan nilai-nilai religius sebagai fondasi spiritual bangsa.
Selain itu, sifat individualistik hukum Barat juga dinilai berseberangan dengan
karakter asli masyarakat Indonesia yang komunal, mengedepankan gotong royong,
musyawarah, dan harmoni sosial.
Lebih jauh, keberlanjutan
penerapan hukum yang ‘dipinjam’ dari Belanda ini dituding telah menimbulkan
berbagai dampak negatif. Sistem hukum yang asing dari akar budayanya sendiri
ini dianggap telah menciptakan semacam ‘kekacauan’ dan disorientasi nilai dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu
manifestasi yang paling meresahkan dari krisis ini, sebagaimana sering
disuarakan, adalah munculnya fenomena kepemimpinan di berbagai tingkatan yang
seolah tercerabut dari akar budayanya. Lahirnya pemimpin-pemimpin yang dianggap
“tidak beradat” – yakni tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seperti
musyawarah, kerukunan, dan tanggung jawab komunal – serta “tidak beragama” –
dalam arti mengabaikan landasan moralitas spiritual dalam menjalankan amanah
kepemimpinan – menjadi keprihatinan mendalam. Hilangnya pegangan pada
nilai-nilai harkat, martabat, nama baik, kejujuran, dan keadilan dalam praktik
kepemimpinan dan penyelenggaraan negara dilihat sebagai konsekuensi logis dari
penerapan sistem hukum yang tidak berakar pada kearifan lokal dan spiritualitas
bangsa.
Krisis hukum nasional yang
dihadapi Indonesia, dengan demikian, bukanlah sekadar persoalan teknis yuridis
mengenai hukum mana yang seharusnya berlaku. Lebih fundamental, ia merupakan
sebuah krisis identitas dan nilai. Ketidakpuasan yang meluas terhadap hukum
warisan Belanda sejatinya berakar pada benturan fundamental antara sistem nilai
yang diusungnya (sekuler-individualistik) dengan sistem nilai yang hidup dalam
sanubari bangsa Indonesia (religius-komunal) sebagaimana terkristalisasi dalam
Pancasila dan hukum adat. Implikasinya, solusi atas krisis ini tidak dapat
ditemukan hanya dengan melakukan tambal sulam peraturan perundang-undangan
semata, melainkan menuntut adanya penyesuaian mendasar pada nilai-nilai yang
menjiwai hukum nasional itu sendiri.
Hukum Adat sebagai Hukum Asli
Indonesia
Di tengah kegelisahan akan
identitas hukum nasional, pandangan yang semakin menguat adalah perlunya
kembali kepada akar hukum asli bangsa Indonesia, yaitu hukum adat (hukum adat).
Hukum adat bukanlah sekadar kumpulan kebiasaan masa lalu, melainkan sebuah
sistem hukum yang hidup (living law), yang telah eksis, tumbuh, dan berkembang
di tengah masyarakat Nusantara jauh sebelum negara-bangsa Indonesia modern
terbentuk. Ia merupakan hukum yang lahir dari rahim kebudayaan masyarakat
setempat, mencerminkan pandangan dunia, sistem nilai, dan rasa keadilan
komunitas-komunitas adat di seluruh kepulauan.
Hukum adat adalah kristalisasi
dari nilai-nilai luhur, kearifan lokal (local wisdom), dan identitas budaya
bangsa Indonesia yang beragam. Ia mengandung prinsip-prinsip pengaturan
kehidupan bersama yang unik, seperti komunalitas, religiusitas, musyawarah
mufakat, dan keadilan restoratif, yang terbukti mampu menjaga harmoni sosial
dan keseimbangan hubungan manusia dengan alam selama berabad-abad. Oleh karena
itu, rekonstruksi hukum nasional yang sesungguhnya haruslah berakar pada hukum
adat. Menjadikan hukum adat sebagai fondasi dan sumber materiil utama dalam
pembangunan hukum nasional diyakini akan menghasilkan sebuah sistem hukum yang
otentik, berjiwa Indonesia, dan mampu mewujudkan keadilan substantif yang
sesuai dengan konteks sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Pancasila dan UUD 1945 sebagai
Mandat Konstitusional
Gagasan untuk merekonstruksi
hukum nasional berbasis hukum adat bukanlah sekadar romantisme historis atau
aspirasi kultural semata, melainkan memiliki landasan filosofis dan yuridis
yang kokoh dalam konstitusi negara. Pancasila, sebagai dasar negara
(Philosophische Grondslag) dan ideologi bangsa (Staatsidee), menempati
kedudukan sebagai norma dasar fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) yang
berada di puncak hierarki norma hukum Indonesia. Secara eksplisit, peraturan
perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, menegaskan bahwa Pancasila adalah sumber dari
segala sumber hukum negara. Konsekuensinya, seluruh produk hukum nasional,
termasuk upaya rekonstruksi hukum, harus bersumber dari, dijiwai oleh, dan
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kelima
sila Pancasila.
Di samping Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) juga
memberikan mandat konstitusional yang jelas bagi rekonstruksi hukum nasional
berbasis hukum adat. Pertama, Aturan Peralihan UUD 1945, khususnya Pasal I dan
II, secara historis berfungsi sebagai jembatan hukum untuk mencegah terjadinya
kekosongan hukum (rechtsvacuum) pada masa awal kemerdekaan dengan menyatakan
bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada (termasuk hukum kolonial)
masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945. Namun,
klausul “selama belum diadakan yang baru” ini sejatinya tidak dapat diartikan
sebagai legitimasi untuk melestarikan hukum kolonial secara permanen.
Sebaliknya, dalam semangat kemerdekaan dan pembangunan hukum nasional yang
mandiri, Aturan Peralihan harus dibaca sebagai mandat aktif bagi negara untuk
segera melakukan dekolonisasi hukum dan mengganti peraturan warisan penjajah
dengan hukum nasional yang baru. Kegagalan untuk melaksanakan mandat ini
secara penuh dan konsekuen selama berpuluh-puluh tahun pasca kemerdekaan dapat
dipandang sebagai salah satu akar penyebab berlarut-larutnya krisis identitas
hukum nasional saat ini. Kelanjutan penggunaan hukum Belanda bukanlah sekadar
keadaan transisi yang wajar, melainkan dapat dianggap sebagai sebuah kelalaian
konstitusional dalam menuntaskan agenda pembangunan hukum nasional sebagai
bagian integral dari pembangunan karakter bangsa (nation building).
Kedua, UUD 1945 hasil amandemen
secara eksplisit memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi
masyarakat hukum adat (MHA) dan hak-hak tradisionalnya. Pasal 18B ayat (2)
menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang”. Pengakuan ini diperkuat oleh Pasal 28I ayat (3)
yang menjamin penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Kedua pasal ini
memberikan landasan konstitusional yang kuat untuk menjadikan hukum adat
sebagai sumber penting dalam pembentukan hukum nasional, khususnya dalam
bidang-bidang yang berkaitan langsung dengan kehidupan MHA, seperti hukum
agraria.
Dengan demikian, Pancasila dan
UUD 1945 secara bersama-sama menyediakan fondasi normatif dan filosofis yang
kokoh bagi urgensi pelaksanaan rekonstruksi hukum nasional Indonesia dengan
menjadikan hukum adat sebagai basis utamanya.
Sumber : DISINI
Hukum Nasional Berbasis Kearifan Lokal
Sistem hukum adat dan hukum agama sering kali dianggap kurang penting
dibandingkan dengan sistem hukum nasional yang lebih formal dan terstruktur.
Berikut beberapa poin yang menjelaskan situasi ini:
Hukum Adat:
Hukum adat di Indonesia sangat beragam dan tidak dikodifikasi secara
formal. Hukum ini hidup dan berkembang dalam masyarakat adat tertentu dan
sering kali hanya dikenal dan diterapkan secara lokal. Karena tidak adanya
kodifikasi, hukum adat sulit diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional yang
lebih formal.
Hukum Agama:
Di Indonesia, hukum agama yang telah dikompilasi secara resmi adalah hukum
Islam. Kompilasi Hukum Islam (KHI) digunakan sebagai pedoman dalam pengadilan
agama untuk menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan pernikahan,
warisan, dan wakaf. Hukum agama lainnya belum mendapatkan perhatian yang sama
dalam bentuk kodifikasi resmi.
Perlakuan sebagai “Anak Tiri”:
Hukum adat dan hukum agama sering kali dianggap sebagai “anak tiri” karena
kurangnya pengakuan dan integrasi dalam sistem hukum nasional. Hal ini
disebabkan oleh dominasi sistem hukum Barat (Civil Law) yang diadopsi dari
Belanda selama masa penjajahan. Sistem hukum ini lebih mengutamakan kodifikasi
dan kepastian hukum yang tertulis, sehingga hukum adat yang bersifat dinamis
dan tidak tertulis sering kali terpinggirkan.
Upaya Integrasi:
Ada upaya untuk mengintegrasikan hukum adat dan hukum agama ke dalam sistem
hukum nasional. Misalnya, dalam beberapa kasus, pengadilan di Indonesia
mempertimbangkan hukum adat dalam putusannya, terutama dalam kasus-kasus yang
melibatkan masyarakat adat.
Ada pula upaya restorative justice, namun menurut pandangan saya itu tidak
tepat. Sistem Hukum Adat, Agama dan Nasional seharusnya berdiri sama tinggi
sebagai Sistem Hukum yang berlaku di Indonesia dan bukan untuk dilebur.